Winardi Dwi Putra (Mahasiswa FH UBB/ Aktivis Pemuda Tempilang) |
Stigma
negatif ini tidak hanya dialami oleh perseorangan tetapi juga dialami oleh
beberapa organisasi sosial. Problematika adanya stigma negatif masyarakat
ataupun kecurigaan buruk terhadap gerakan pengabdian masyarkat muncul semenjak
berkurangnya otoritas moral para pemuda yang bergerak dengan tujuan sosial oriented beralih kepada presensi oriented . Sosial oriented itu sendiri adalah
tujuan yang mengedepan sosial secara keseluruhan dari berbagai sisi. Sedangkan presensi oriented adalah pengejawantahan
dari tujuan yang mengharapkan pengakuan atas sebuah kehadiran subjek/kelompok
penggerak serta keberadaanya yang iringi dengan finalisasi eksistensi dan
popularitas pribadi ataupun kelompok.
Tidak
heran, kebanyakan hal yang terjadi diantaranya adalah aktivitas sosial dengan
animo kepemudaan/ mahasiswa melahirkan pragmatisme yang memanifestasi
penunjangan terhadap eksistensi pribadi maupun kelompok. Distorsi yang
menghadirkan eksistensi dari aktivitas pengabdian sosial akan digunakan oleh
sebagian orang maupun kelompok untuk kepentingan yang lebih luas lagi. Seperti
halnya hegemoni eksistensi berlebih seringkali digunakan sebagai modal utama
terjun dalam eskalasi dunia politik praktis. Selain itu eksistensi berlebih
juga memungkinkan seseorang maupun kelompok lebih mendapat empati dalam
kolosalisasi berbisnis.
Adapun
hakikat dan esensi dari sebuah pengabdian sosial di lingkungan masyarakat
diantaranya upaya diredusir problematika sosial di lingkungan masyarakat. Serta
adanya diskursus dalam meningkatkan mutu sosial masyarakat. Upaya intensif yang
seharusnya dimanifestasi menanggulangi kesenjangan sosial. Hingga bahkan
upaya-upaya komplementer dilakukan untuk mensejahterahkan sosial masyarakat
melalui pengabdian masyarakat. Secara singkat pengabdian dipelopori oleh
berbagai paham dan dorongan diantaranya aktualisasi dari kegelisahan serta
nurasi bagi kepemudaan dan Tri Dharma perguruan tinggi bagi mahasiswa. Hingga
bahkan dipelopori oleh tujuan resmi organisasi/kelompok maupun konstelasi
kelompok tertentu dengan tujuan luhur.
Hakikat
dengan pandangan yang essensial terutama ditengah kecendrungan kecanggihan
teknologi dan kemajuannya membuat berbagai bentuk pencitraan dengan pragmatisme
yang ada. Ole karena itu pemuda dan mahasiswa teracuni oleh momok jahat yang
menimbulkan kemacetan tersendiri dalam pola sistematis berpikir pemuda dan
mahasiswa. Sudah sewajarnya jika hal tersebut mempengaruhi sensitivitas dan
kemampuan memposisikan diri pemuda dan mahasiwa menjadi bergeser.
Tentunya
iya atau tidak, sangat dibutuhkan solusi dalam menanggulangi stigma negatif
yang mempengaruhi masyarakat hingga terjadi public
distrust terhadap aktivitas/gerakan. Lantaran pengabdian sosial yang
tatkala hanya dianggap sebagai pencitraan seseorang maupun kelompok semata.
Demikian sangat diharapkan para pemuda dan mahasiswa sebagai agent of change dan iron stock haruslah memiliki kesadaran dan karakter. Dengan
otoritas moral serta semangat mengelaborasi secara progresif dan masif. Dengan
menghindari kemacetan berpikir demi renkontruksi berperilaku dan bergerak yang
humanisme. Secara definitif agent of
change memposisikan pemuda/mahasiswa sebagai bagian dari generasi yang
dianggap mampu memberikan perubahan secara signifikan. Sedangkan iron stock memposisikan pemuda/mahasiswa
sebagai generasi penggerak dan penerus bangsa yang memimpikan masa depan cerah
dan sejahtera.
Bahkan sangat diharapkan lingkungan masyarakat dapat
memberikan stimulus bergerak dan berpikir yang lebih visioner demi kemajuan
bersama. Terutama hal yang menjadi inti adalah pemuda dan mahasiswa mampu
memposisikan diri, stigma tetaplah stigma, siapapun bebas berprasangka dan
berspekulasi buruk terharap perseorangan maupun kelompok. Hanya saja kembali
kepada bagaimana sebagai generasi yang kaya akan intlektualitas memposisikan
diri dan menyikapinya.
Winardi Dwi Putra (Mahasiswa FH UBB/ Aktivis Pemuda Tempilang)
Tags:
Berita